أهلا و سهلا

JAGALAH HATI...

Kamis, 16 Agustus 2012

Zakat Fitrah


1.      Pengertian Zakat
Zakat secara etimologi berarti bersih, suci, dan berkembang; maksudnya harta yang dizakati akan bersih, suci dan hartanya akan berkembang. Belum ada dalam sejarah, ada orang jatuh miskin karena hartanya disucikan dengan zakat. Sedangkan menurut istilah, zakat adalah shadaqoh wajib yang harus dikeluarkan dari harta kita setelah terpenuhi syarat-syarat tertentu (sampai batasan nisab dalam setahun penuh). Nisab adalah batas minimal harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Misalnya: kita memiliki usaha, atau gaji yang kalau diakumulasikan dalam setahun setara dengan 85 gram emas, maka ”wajib”-lah kita mengeluarkan zakat yaitu hak orang lain yang menempel di harta kita sebesar 2.5%-nya.
Zakat ada dua jenis, yaitu: Zakat fithrah/zakat badan dan Zakat maal/zakat harta. Untuk zakat fithrah dibayarkan setiap selama bulan suci Ramadhan (sebelum ‘Idul Fitri) sebesar 2.5 kg beras (makanan pokok) bagi setiap muslim
Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap muslin sebagai santunan kepada orang-orang miskin, mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari raya sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadhan sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori puasa.
Kewajiban membayar zakat fitrah bersamaan dengan disyariatkan puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua Hijriah. Kewajiban membayar zakat fitrah dibebankan kepada setiap muslim dan muslimah, baligh atau belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa ia masih hidup pada malam hari raya dan memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya untuk sehari.

Zakat fitrah ini dibayarkan maksimal sebelum shalat ‘Idul Fitri. Ketentuan zakat fitrah tersebut didasarkan pada hadist Rasulullah SAW :
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ تَمَرٍ، أوْصَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأمَرَ بِهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ الناَّسِ إلى الصَّلَاةِ


Artinya : “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas orang muslim baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wamita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat Fitrah sebelum berangkat (ke masjid) ‘Idul Fitri” (HR Bukhari dan Muslim)
2.      Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah orang muslim yang merdeka yang sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya untuk sehari semalam. Di samping itu, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti isterinya, anak-anaknya, pembantunya, (dan budaknya), bila mereka itu muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kita) agar mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk orang merdeka dan hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu tanggung kebutuhan pokoknya.” (Shahih : Irwa-ul Ghalil no: 835, Daruquthni II:141 no: 12 dan Baihaqi IV: 161). 
Dalam hal wajibnya janin dalam bayi dikeluarkan zakat fitrahnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, Imam asy-Syaukani menyatakan bahwa Ibnu Mundzir pernah mengemukakan pernyataan, bahwa ada ijma' (kesepakatan) ulama yang menegaskan tidak wajib zakat fitrah bagi anak yang masih dalam kandungan. Bahkan, Said bin Musayyib dan Hasan Basri berpendapat bahwa zakat fitrah itu hanyalah wajib bagi orang yang berpuasa saja, karena tujuan zakat fitrah adalah untuk mensucikan orang yang berpuasa. Sedangkan si anak tidak membutuhkan diri untuk disucikan, karena ia tidak melakukan dosa.
Alasannya adalah hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasul SAW hanya mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari ucapan dan perbuatan kotor, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas.
Sementara itu, Ibnu Hazm menyatakan, janin yang berada dalam kandungan ibunya tidak wajib dizakati, apabila belum berusia empat bulan (120 hari). Namun, bila sudah berumur empat bulan dalam kandungan, maka ia wajib di zakati.
Berbeda dengan pendapat lainnya, Imam Ahmad bin Hanbal, menganjurkan umat Islam untuk mengluarkan zakat fitrah bagi janin dalam kandungan. Namun, ia tidak mewajibkannya. (Lihat Nail al-Authar jilid 4, hlmn 181)
3.      Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Pandangan para ulama tentang waktu pembayaran zakat fitrah :
1-Hanafiyah; Tidak ada batas awal dan batas akhir. Boleh dibayarkan sebelum hari raya (1 Syawal), bahkan sebelum masuk Ramadhan. Juga tetap harus membayar zakat fitrah ini meski terlambat sampai lewat tanggal 1 Syawal.
2-Malikiyah; Sejak 2 hari sebelum hari raya sampai (paling lambat) terbenamnya matahari tanggal 1 Syawal. Namun, jika sampai lewat batas akhir belum mengeluarkan zakatnya, ia tetap berkewajiban membayarnya. Dengan catatan, jika ia mampu (karena telah memenuhi syarat wajib) tapi mengakhirkannya sampai lewat hari raya, maka ia berdosa.
3-Syafi'iyah; Sejak hari pertama Ramadhan sampai tenggelamnya matahari 1 Syawal. Namun utamanya adalah sebelum salat 'id. Lebih dari itu, jika memang ia mampu dan tidak ada 'udzur maka ia berdosa dan tetap harus membayar. Namun jika ada udzur seperti kehilangan hartanya, maka tidak apa-apa, tapi ia tetap harus membayarkannya.
4-Madzhab Hanbali; Awal pembayaran zakat fitrah sama dengan madzhab maliki, yaitu dua hari sebelum hari ied. Sedangkan waktu terakhirnya sama dengan pendapat Syafi`i, yaitu hingga terbenamnya matahari 1 syawal.
Berdasarkan pendapat para ulama tersebut, maka waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:
                   I.            Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied
                II.            Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat.
Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma:

وَمَنْ أَدَّاهاَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكاَةٌ مَقْبُوْلَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهاَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقاَتِ

“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”

Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.

Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal). Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Ied.
4.      Ukuran zakat fitrah
Setiap orang wajib mengeluarkan setengah sha' dari gandum, atau satu sha' dari kurma, kismis, keju, beras, jagung, sagu, atau bahan makanan pokok lain yang semisal dengan yang tadi. 1 sha’ yaitu 2176 gram atau 2,2 Kg beras atau makanan pokok. Dalam prakteknya jumlah ini digenapkan menjadi 2,5 Kg, karena untuk kehati-hatian. Hal ini dianggap baik oleh para ulama.
Dalil yang menjadi dasar wajibnya mengeluarkan setengah sha' dari qamh (gandum), riwayat dari Urwah bin Zubair radliyallah 'anhu, bahwasanya Asma' binti Abi Bakar radliyallah 'anhuma mengeluarkan zakat pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk keluarganya, baik yang merdeka maupun budak, sebanyak dua mud hinthah (gandum) atau satu sha' kurma dengan ukuran sha' dan mud yang biasa mereka gunakan pada masa itu." (ath-Thahawi).
Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya mengeluarkan satu sha' dari bahan makanan selain qamh (gandum) adalah hadits Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata, "kami selalu mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha' makanan atau satu sha' sya'ir atau satu sha' kurma atau satu sha' keju atau satu sha' kismis." (Muttafaq 'Alaih)
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah mengeluarkan harga dari zakat fitrah tersebut (bukan berupa makanan pokok).
. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4)
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3)
Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295).
Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa,”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut (sya’ir) atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 9).
Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasan kami : Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal). Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang.
Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma’syar yang dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu’, VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam az-Zaila’i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhu’afa, VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.
Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok. Wallahu a’lam.
5.      Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60)
Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah :

1. Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang Miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan Budak: mancakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang yang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

7. Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

8. Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
        6. Cara Pembayaran Zakat Fitrah
Para Ulama telah bersepakat bahwa dasar palaksanaan zakat adalah bahwa seorang Imam (Amil) mengumpulkannya dari para muzakki dan membagikannya kepada para mustahiq. Artinya, pengelolaan zakat itu merupakan salah satu tugas negara Islam, dengan dalil-dalil berikut ini:

1. Al-Qur’an telah menetapkan dalam ayat zakat tentang bagian amil zakat. Ini mennunjukkan bahwa harus ada pegawai yang ditunjuk oleh negara guna menjalankan tugas ini dan diberikan gaji dari zakat.
2. As-Sunnah Al-Qauliyah, “… diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dibagikan kepada fakir miskin mereka…” di sini ada yang mengambil dan yang membagi, dan tidak dibiarkan begitu saja kepada para muzakki.
3. As-Sunnah Al-Fi’liyyah, Rasulullah saw. pernah mengutus Umar untuk memungut zakat Ini menunjukkan bahwa sahabat-sahabat di masa Rasulullah Saw memberikan zakat fitrahnya melalui Amil yaitu petugas zakat yang ditunjuk Rasulullah Saw, dan tidak memberikannya secara langsung kepada yang berhak.
4. Logika, yaitu ketika zakat dibiarkan kepada perorangan mengakibatkan terlantarnya hak-hak fakir miskin, yang bisa menyebabkan keresahan dan ketidakadilan terhadap fakir msikin. Pada saat yang sama negara berkewajiban menjaga kehormatan fakir miskin. Belum lagi sebagian distribusi zakat itu disalurkan untuk kepentingan umum yang hanya bisa ditentukan oleh negara.
Kewajiban adanya ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak menjadi syarat. Tidak benar bila tidak ada ijab kabul dalam zakat, lalu zakat itu menjadi tidak syah. Yang benar bahwa penyerahan harta zakat itu perlu ditegaskan untuk membebaskan pemberi zakat dari kewajiban berzakat. Di masa lalu ketika syariat zakat masih lengkap dengan amil zakat yang berkeliling memungut dari orang kaya, penyerahan itu disertai dengan ikrar yang salah satu fungsinya semacam tanda terima. Bahkan si fulan sudah menyerahkan zakatnya, sehingga petugas zakat yang lain tidak perlu lagi menagihnya.
Dengan tidak adanya pemerintahan Islam, zakat di masa sekarang ini dijalankan dengan apa adanya. Sangat tidak efektif dan sangat kurang manfaatnya. Sebab tidak ada petugas resmi zakat yang punya mandat resmi dari negara untuk menagih zakat.
Para petugas zakat cenderung hanya bisa membuat proposal dan mengemis-ngemis zakat dari kantor ke kantor. Kalau ada yang sadar mau bayar zakat, mereka akan berterima kasih. Tapi kalau tidak ada yang mau bayar zakat, mereka hanya bisa pulang dengan tangan hampa.
180 derajat berbeda dengan apa yang terjadi di masa nabi dan para shahabat. Petugas zakat yang pulang dengan tangan hampa, bisa mengakibatkan terjadinya perang atas suatu kaum yang menolak bayar zakat. Itulah yang terjadi di masa khalifah Abu Bakar As-Shiddih ra. Beliau secara tegas memerangi orang yang menolak petugas zakat. Tidak mau bayar zakat? Siap-siap diperangi oleh negara.
Semakin modern-nya gaya hidup, semakin memudahkan. Salah satunya dengan dibukanya account khusus untuk menerima zakat yang dilakukan oleh lembaga amil zakat. Biasanya, rekening itu didesain secara khusus hanya untuk menerima harta zakat. Dibedakan dengan rekening untuk infak lainnya seperti untuk anak yatim, atau pembangunan masjid.
Maka orang yang memanfaatkan transfer langsung lewat ATM atau bank, biasanya sudah tahu dengan pasti, berapa besar kewajiban zakat yang wajib dikeluarkan. Dia juga sudah tahu dengan tepat bahwa rekening itu memang untuk menyalurkan harta zakat. Walhasil, tidak ada yang salah dengan sistem ini. Sebab pihak lembaga juga sejak awal sudah mensosialisasikan dengan cermat bahwa nomor rekening tersebut memang semata-mata untuk pengaluran harta zakat. Bukan untuk sedekah atau infaq lainnya.
Panitia Zakat Fitrah hendaknya mendoakan kepada orang yang membayar zakat, agar ibadahnya selama Ramadhan diterima dan mendapat pahala. Doa yang sering dibaca oleh yang menerima zakat, diantaranya:
آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا

Artinya : “Semoga Allah SWT memberikan pahala kepadamu atas apa saja yang telah Allah memberi berkah kepadamu atas semua yang masih ada padamu dan mudah-mudahan Allah menjadikan kesucian bagimu.”
Jika terjadi perbedaan Hari Raya, maka panitia zakat Fitrah yang berhari raya terlebih dahulu tidak boleh menerima zakat Fitrah setelah mereka mengerjakan shalat ‘Idul Fitri.

Minggu, 29 Juli 2012

Dualisme Bahasa Arab (Ammiyah-Fushah)

Latar Belakang
Bahasa Arab  merupakan bahasa yang unik dan menarik. Ia juga adalah bahasa resmi bagi agama Islam. Oleh kerana itu bahasa Arab perlu diberi perhatian sewajarnya agar kesinambungan bahasa Al-Quran itu terpelihara. Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab padahal Al-Quran itu bukan hanya ditujukan kepada bangsa Arab saja, melainkan untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman. bahasa Arab juga merupakan bahasa perantaraan makhluk kepada Penciptanya. Contohnya ibadah seharian kita yaitu shalat, Tidak sah shalat seseorang itu jika tidak menggunakan bahasa Arab. Ini jelas menunjukkan kepada kita satu ikatan yg sangat kukuh di antara bahasa Arab dan Al-Quran yg mana tidak mungkin dijumpai pada bahasa-bahasa lain di dalam kitab suci mereka.

Apabila kita membincangkan tentang bahasa Arab, maka sudah tentu ia adalah bahasa Arab fushah (baku dan tulin). Kecintaan orang Arab akan bahasanya ini, membuat bahasa Arab begitu cepat berkembang. Namun banyak faktor lainnya yang mempengaruhi bahasa Arab berkembang sedemikian cepat, yang terpenting di antaranya adalah datangnya Islam.

Orang-orang Arab (pendatang) mulai berasimilasi dan bersosialisasi dengan pribumi karena kelompok sosial ini semakin hari semakin bercampur. Pada saat yang bersamaan, penduduk asli (pribumi) pun kemudian merasa butuh dan berkepentingan untuk mempelajari bahasa Arab yang di gunakan oleh orang-orang Arab.
Namun demikian, di dalam bahasa Arab terjadi dualisme bahasa yaitu gejala Ammiyah & Fushah yang pasti memberikan pengaruh terhadap bahasa Arab itu sendiri.


PEMBAHASAN 
Bahasa Arab fushah adalah bahasa Al-Quran, bahasa al-Turats al-Araby dan bahasa Arab yang dipergunakan untuk aktifitas resmi formal, bahasa koleksi, sya’ir maupun Nasar, dan bahasa yang dipakai pada produkproduk ilmu pengetahuan dan hasil-hasil pemikiran dan pengetahuan. Bahasa Arab fushah merupakan bahasa asal Arab yang dapat difahami oleh seluruh bangsa Arab walaupun ia berasal dari negara mana sekalipun dan bahasa inilah sebenarnya yg telah menyatukan bangsa-bangsa Arab dan seterusnya menghapuskan perselisihan yg berlaku sesama mereka.
Bahasa Arab fusha, bisa digunakan di negara manapun. Bila mana kita berbicara dengan orang Amerika, Inggris, Spanyol, Thailand atau Negara lainnya di belahan dunia ini, maka kita akan bisa saling memahami pembicaraa kalau mereka juga menggunaka Bahasa Arab fusha pula.
Jadi di sini jelas bahwa Bahasa Arab yang digunakan sekarang ini sama dengan Bahasa Arab Al-Qur’an asalkan Bahasa Arab yang digunakan itu Bahasa Arab fushah dan sesuai dengan kaidah ilmu Nahwu, Sharaf dan Balahgah.
Sedangkan bahasa Arab Ammiyah adalah bahasa yang digunakan dalam keseharian dan setidaknya non formal. Di dalam bahasa Ammiyah dikenal beberapan istilah lain yang menunjukkan ma’na Ammiyah. Pakar nahasa Arab modern menyebutkan beberapa istilah diantaranya:
·         Al-Lughah Al-Ammiyah
·         As-Syaklu Al-Lughawy Al-Darij (formasi bahasa populer)
·         Al-Lahjat Al-Sya’iah (dialek populer)
·         Al-Lughah Al-Mahkiyah (bahasa tutur)
·         Al-Lahjat Al-Arabiyyah Al-Ammiyah
·         Al-Lahjat Al-Darjiy (dialek lokal) 
Bahasa Arab Ammiyah kemudian dikenal juga dengan istilah ( اللغة الأزدواجية ) yang berarti paralelisme bahasa atau dikenal “lebillinguisme” yaitu adanya dua bahasa yang berbeda dalam individu atau masyarakat dalam waktu yang bersamaan.
Sebahagian ahli bahasa menolak istilah اللغة الأزدواجية yang digunakan kebanyakan pakar bahasa untuk menunjukkan dua formasi bahasa Arab (fushah, dan Ammiyah) karena fushah dan Ammiyah adalah dua kelompok dari satu rumpun bahasa. Perbedaan sekunder di antara keduanya hanyalah perbedaan yang bersifat primer yang mendasar. Karena menurut mereka istilah اللغة الأزدواجية yang sebenarnya adalah perbedaan dari dua kelompok bahasa yang berbeda dari dua bahasa yang berbeda, seperti bahasa perancis dan bahasa Arab atau bahasa jerman dan bahasa turki.
2.      Latar Belakang Terjadinya Dualisme Bahasa Arab
Adapun bahasa Arab pecah menjadi dua bahasa yaitu bahasa fushah dan Ammiyah ini adalah masalah yang tidak termasuk paralel, tetapi ini hanya diistilahkan dengan  الثنائية اللغوية(bahasa sekunder) yang dikenal dengan diglossie.
Banyak orang yang berkeyakinan bahwa bahasa sekunder الثنائية اللغوية sudah dikenal sejak masa jahiliyah.
Setiap kabilah Arab mempunyai dialek khusus tersendiri atau bahasa spesial untuk kabilah mereka. Di samping itu mereka juga memiliki bahasa musytarik atau bahasa bersama yang dipergunakan oleh seluruh kabilah Arab. Setiap dialek dari setiap kabilah mempunyai ciri khusus tersendiri yang hidup ditengah-tengah jazirah Arab, dan di belahan timur yang disebabkan oleh aktifitas perdagangan diantara mereka atau musim haji ataupun karena pengembaraan (nomaden dari satu tempat ke tempat yang lain).
Sarana komunikasi anggota satu kabilah menggunakan bahasa intern kabilah mereka. Tetapi komunikasi antara satu kabilah dan kabilah yang lainnya seperti ketika berpidato atau mengubah sya’ir, orang Arab menggunakan bahasa musytarak (bahasa persatuan), gejala ini berlangsung terus sampai masa-masa islam.
Adapun dualisme bahasa antara bahasa Arab fushah dan bahasa Arab Ammiyah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah yang lahir pada saat munculnya gejala Ammiyah itu sendiri, yaitu berawal sejak masa ekspansi pertama kekuasaan islam. Di masa perluasan wilayah Islam setelah terjadi kontak dan asimilasi antara orang Arab dan non Arab (‘ajam), akan tetapi pada masa ini bahasa Ammiyah belum tampak berbeda jauh dari bahasa fushah. Akan tetapi berselang tenggang waktu yang lama, bahasa Ammiyah sudah bisa dibedakan dari bahasa fushah secara jelas karena memiliki karakteristik tersendiri baik dari segi Shouth (Fonologi) cara tuturnya, sintaksisnya maupun materi bahasa itu sendiri morfologisnya sudah berbeda jauh dengan bahasa fushah. 
Al-Jahiz mengistilahkan dengan Al-Lugah Al-Arabiyah Al-Ammiyah sebagai Lughah Muwalladin, dan Al-Lugah Al-Arabiy Al-Fashihah sebagai Lughah Baladiyyin.
3.      Gejala Dualisme pada Setiap Bahasa di Dunia
Perlu diingat bahwa dualisme bahasa Ammiyah dan Fushah, gejala ini bukan saja didapati dalam bahasa Arab saja akan tetapi dijumpai juga di bahasa-bahasa lain selain bahasa Arab. Para pakar dan ahli bahasa menegaskan bahwa gejala ini juga didapati dalam nahasa-bahasa dunia. Seorang pakar bahasa Perancis telah berhasil melakukan penelitian khusus tentang dualisme bahasa, dan sampai pada kesimpulan bahwa gejala dualisme bahasa adalah refleksi dari dualisme pemikiran dan perasaan manusia. Setiap bahasa pasti mempunyai gejala dualisme Fushah dan Ammiyah akan tetapi dualisme ini berbeda-beda tingkatannya dalam setiap bahasa.

Pendapat para ahli bahasa tentang gejala dualisme bahasa.
Ahli bahasa terbagi ke dalam dua kelompok besar dalam melihat dan meneliti gejala dualisme bahasa:
a.      Gejala dualisme bahasa adalah bukti hasil peradaban manusia, karena orang biadab yang tidak berperadaban tidak mengenal dualisme bahasa.
b.      Gejala dualisme bahasa merupakan musibah besar yang menimpa masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Sebagai contoh seorang siswa akan menggunakan bahasa yang lain yang tidak dipergunakan di luar, ketika mereka dalam kelas. Hal ini akan membuat asing bagi mereka ketika membaca bacaan dan pelajaran mereka dengan bahasa yang mereka tidak gunakan di dalam kelas menambah mereka jauh. Sehingga untuk berbahasa  Fushah dalam kelas, menuntut mereka belajar khusus, sehingga dengan dualisme bahasa membuat kebingungan dan kehancuran dalam pikiran mereka.
4.      Pandangan orang terhadap dualisme bahasa Arab Fushah dan Ammiyah
Realitas sikap orang terhadap gejala dualisme bahasa Arab Fushah dan Ammiyah
a.       Ada sekelompok komunitas Arab menyerukan penghapusan bahasa Ammiyah Arab dan menyerukan penggunaan bahasa Fushah saja. Komunitas ini mengupayakan dalam berbagai media agar masyarakat berbahasa Arab Fushah dalam seluruh aspek kehidupannya, sehingga Fushah menjadi gejala alamiah dan watak dalam masyarakat. Jadi penggunaan bahasa Fushah tidak mengalami kesulitan lagi dalam berbahasa Fushah karena sudah menyatu dalam kehidupan keseharian mereka.
b.      Komunitas yang menuntut tidak menggunakan bahasa Ammiyah maupum Fushah tetapi menyerukan alternatif lain yaitu menggunakan bahasa asing agar lebih memudahkan mereka berinteraksi dari segi ilmu pengetahuan, budaya, ekonomi, karena menurut mereka bahasa Arab dengan kondisi sekarang tidak relevan lagi untuk dijadikan sebagai bahasa formal dan non formal.
c.       Komunitas masyarakat yang menyerukan demokrasi penggunaan bahasa yaitu dengan cara mempertemukan Fushah dan Ammiyah berdasarkan kabilah masing-masing.
d.      Komunitas yang mengatasnamakan dialek bahasa Arab persatuan dan kebersamaan. Atau bahasa Arab untuk orang-orang yang berpendidikan untuk seluruh daerah Arab, atau bahasa peradaban Arab, yaitu bahasa Arab yang menyatukan seluruh komponen budaya, sosial, politik, sejak 30 tahun terakhir, yaitu bahasa Arab yang tersebar dan dipakai para budayawan dan ulama Mesir, Iraq, Syiria, Lebanon, Palestina dan lain-lainnya, yaitu bahasa Arab yang menghimpun mereka dalam pertemuan di perguruan tianggi Arab.
e.       Komunitas yang menyerukan penggunaan bahasa Ammiyah pada tulisan ilmiah dan sastra dan seluruh sektor yang biasanya menggunakan bahasa Fushah.


5.      Faktor yang mendukung berkembangnya bahasa Arab Ammiyah
Tidak sedikit komunitas Arab yang menyerukan penggunaan bahasa Ammiyah dalam seluruh sektor aktifitas kehidupan mereka dengan alasan sebagai berikut:
a.       Bahasa Arab Fushah adalah bahasa untuk generasi tempo dulu yang sudah tidak memiliki realitas kehidupan masa kini. Menurut mereka bahasa Fushah terlalu sulit untuk dipelajari karena kesusahan gramatikanya dan morfologinya, begitu juga mufradatnya. Dibanding dengan bahasa bahasa Ammiyah yang kesannya gampang, elastis diucapkan karena tidak terikat dengan aturan gramatika, morfologi dan fleksibel dalam pengayaan kosa kata. 
b.      Mayoritas umat Islam belum menggunakan bahasa Arab Fushah baik dalam tulisan maupun lisan. Oleh karena itu, mereka tidak terlalu tertarik mempelajarinya. Adapun bahasa Al-Quran maka dia adalah spesifikasi dan spesialisasi para ulama dan ahli-ahli bahasa Arab.
c.       Bahasa Ammiyah sangat ekonomi, efisien dan efektif untuk dipelajari ketimbang bahasa Fushah.
d.      Salah satu sebab keterbelakangan mereka adalah perbedaan bahasa lisan dan bahasa tulisan yang ekspresi dalam perbedaan Ammiyah dan Fushah.

6.      Pengaruh dualisme bahasa Arab Fushah dan Ammiyah dalam masyarakat.
Dampak dualisme Ammiyah, dan Fushah Bahasa Arab dalam masyarakat menurut sosiolog Arab mempunyai dampak dampak dalam pemikiran pendidikan, kepribadian, moral dan kesenian. Pembahasan tentang dampak ini akan terlihat pada:
a.       Dampak dualisme bahasa dalam dunia pemikiran menyebabkan pemikir harus bekerja lebih keras dalam menuangkan ide pemikiran mereka, energi lebih banyak terkuras kepada bahasa yang akan digunakan ketimbang dengan konten pemikiran itu sendiri.
b.      Dampak dualisme bahasa Ammiyah, dan Fushah dalam pendidikan membuat peserta didik kesulitan dalam menimba ilmu pengetahuan karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda dengan ilmu yang mereka geluti dengan bahasa yang mereka pakai.
c.       Dampak dualisme Ammiyah, dan Fushah dalam pembentukan jati diri dan kepribadian yaitu masyarakat trpola menjadi dua perilaku yang berbeda. Seolah-olah mereka merasakan bahasa Ammiyah adalah bahasa untuk anak-anak dan orang awam sedangkan bahasa Fushah untuk orang-orang terpelajar dan kalangan elit.
d.      Dampak dualisme Ammiyah, dan Fushah dalam moralitas adalah menjadikan manusia berperilaku ganda. Mereka berbahasa Ammiyah pada kondisi biasa dan nonformal dengan perilaku yang berbeda begitu juga menggunakan fushah dalam kondisi yang formal dengan perilaku yang berbeda pula.
e.       Dampak dualisme Ammiyah, dan Fushah pada karya-karya seni. Dempak ini terlihat dalam bahasa-bahasa sinetron yang cenderung menggunakan bahasa Ammiyah tetapi sinetron agama menggunakan bahasa Fushah, sehingga ada dikotomi dalam produk hasil karya seni yang berkualita

Minggu, 15 Juli 2012

Sampai Kapan Kelalaian ini Berakhir


Sesungguhnya ghaflah (lalai, terlena) adalah racun yang sangat mematikan, dan penyakit yang sangat berbahaya, yang dapat menguasai hati, merasuk mencengkram jiwa, serta menawan/melumpuhkan angota badan.

Saat ini kebanyakan manusia hidup dalam kelalaian yang nyata dari (mengingat) Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kampung akhirat. Dunia dan seluruh perhiasannya telah menjebak mereka, angan-angan tak karuan sudah menipunya, dan mereka telah disetir oleh keinginan-keinginan jelek, setan serta hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada perbuatan tercela, namun dengan ini semua mereka masih mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya perbuatan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)." (Al Anbiyaa' :1)

Mayoritas manusia dalam keadaan lalai

Al Imam Ibnu Al Qayyim rahimahullah berkata: Dan barangsiapa memperhatikan keadaan manusia, maka dia pasti dapatkan mereka seluruhnya –kecuali sedikit saja- merupakan golongan orang-orang yang hatinya lalai dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka mengikuti hawa nafsunya, sehingga urusan-urusan dan kepentingan mereka terabaikan, yaitu mereka kurang perhatian terhadap hal-hal yang mendatangkan manfaat dan membawa kemashlahatan baginya, sedang mereka menyibukan diri dengan hal-hal yang sama sekali tidak bermanfaat baginya, bahkan justru mendatangkan malapetaka bagi mereka, baik sekarang maupun di masa mendatang.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman-walaupun kamu sangat menginginkannya." (Yusuf: 103)
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala, artinya: "Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Al An'am : 116)
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala, artinya: "Dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami." (Yunus : 92)

Namun apakah lalainya kebanyakan manusia dari Allah dan dari hari kemudian itu merupakan hujjah bagi orang-orang yang lengah dan suka main-main ? Sama sekali tidak…..Itu bukan hujjah bagi mereka, bahkan menjadi hujjah atas mereka, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus para Rasul, mereka mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang tidak ada sekutu baginya, dan meninggalkan jalan-jalan kelengahan dan kesesatan, begitu juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan kitab-kitab yang di dalamnya mengandung peringatan dari sikap lalai dan semua pintu-pintunya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati-mu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai ." (Al Araf : 205)

Al Imam Abu Muhammad Al Qushariy berkata : Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang manusia berbuat lalai, dan Dia telah memerintahkan agar selalu mengingat-Nya setiap saat, Dia berfirman, artinya: "Berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dzikir yang sebanyak-banyaknya." (Qs: Al-Ahzab: 41)
Dan berfirman, artinya: "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring" (Qs: Ali Imran: 191)

Siksa bagi orang yang lalai

Orang-orang yang lalai mendapatkan sangsi di dunia dan sangsi di akhirat:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang ummat Nabi Musa as tatkala mereka mendustakan dan menyakitinya, artinya: "Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggalamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu." (Qs: Al-A'raf: 136)

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan neraka Jahannam yaitu tempat siksaan di akhirat sebagai tempat kembali dan tempat tinggal bagi orang-orang yang lalai, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, artinya: "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manuia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunaknnya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (Qs: Al-A'raf:179)

Ayat ini menjelaskan bahwa tempat akhir orang-orang yang lalai adalah Jahannam disebabkan mereka memiliki hati, namun hatinya sangat keras, tidak pernah tersentuh dan terenyuh, serta tidak tergerak sedikitpun dengan mau'idhah (wejangan), dia bagaikan batu, bahkan lebih keras.

Mereka memiliki mata yang mampu melihat pemandangan dhahir (luar) segala sesuatu, namun tidak mampu melihat dengannya hakikat segala urusan, dan tidak mampu dengannya membedakan antara yang bermanfaat dengan yang membahayakan.

Dan mereka memiliki telinga yang dengannya mereka mendengarkan suara-suara kebatilan, seperti dusta, nyanyian, kata-kata kotor, ghibah, dan namimah, dan mereka tidak mengambil manfaat dengannya dalam mendengarkan hal yang benar dan jujur yang berupa kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sunnah Rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Sallam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya ialah neraka disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan." (Yunus : 7-8)
Dan Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang adzab orang-orang yang lalai di Jahannam, "Dan telah dekat kedatangan janji yang benar (hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang kafir. (Mereka berkata), "Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya." ( Al Anbiya : 97-98)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memberitahukan bahwa kelalaian itu bila telah menguasai hati menyebabkan seseorang ridla dengan kekufuran, dadanya merasa tenteram dengannya, pintu-pintu hidayah tertutup, dan terkuncilah hati itu, wal 'iyadzu billah, sehingga taubat dan hidayah sangat sulit tercapai, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannyAllah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran, dan penglihatan-nya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai." (An Nahl :106-108)

Lalai sebab segala kejelekan

Al Imam Ibnu Al Qayyim berkata : Dan lalai dari (mengingat) Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari kemudian bila berpasangan dengan mengikuti hawa nafsu maka terlahirlah dari keduanya segala macam keburukan, dan umumnya bergabung antara keduanya dan tidak pernah terpisahkan.
Barang siapa memperhatikan kerusakan situasi alam ini, secara umum maupun khusus maka dia bakal mendapatkannya sebagai akibat dari kedua hal ini.

Kelalaian menjadi penghalang antara seseorang dengan kemampuan memandang kebenaran, mengetahuinya, dan memahaminya, sehingga ia termasuk dalam jajaran orang-orang yang sesat.

Tanda-tanda lalai

Saudaraku tercinta, lalai itu memiliki banyak tanda, dikala kita melihat salah satunya ada dalam diri kita, maka ketahuilah sesungguhnya kita dalam bahaya, cepatlah koreksi diri, kejarlah ketinggalan, dan mulailah menanggulangi tanda-tanda ini dengan cara-cara yang disyari'atkan agar kita mampu melepaskan diri dari cengkaramannya sepanjang masa. Dan di antara-tanda itu adalah :
·         Menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan inilah fenomena kelalaian yang paling besar.
·         Kufur, fasiq, dan nifaq.
·         Melakukan perbuatan-perbuatan keji, seperti zina, sodomi, minum-minuman keras, dan lain sebagainya.
·         Menyia-nyiakan shalat, dan menye-pelekan waktu-waktunya, serta (meninggalkan)mendirikannya secara berjamaah di mesjid.
·         Sedikit mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
·         Sedikit membaca Al Qur'an.
·         Meninggalkan berdoa, dan berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
·         Mencintai dunia, dan menyibukan diri untuk mengumpulkannya dengan berbagai cara.
·         Tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik dalam hal pakaian, cara hidup, dan penampilan.
·         Berteman dengan orang-orang jahat, dan orang yang tidak mau mengingatkannya kepada Allah.
·         Menyia-nyiakan waktu dalam hal yang bukan termasuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
·         Terlalu banyak makan, minum, tidur, dan bergaul, karena itu semua menyebabkan rusaknya hati dan malasnya anggota badan dari melaksanakan berbagai macam ketaatan.
·         Mendengarkan lagu-lagu, dan menonton siaran parabola yang beracun.
·         Tidak hati-hati dalam segala hal yang berkaitan dengan halal dan haram.
·         Melanggar keharaman-keharaman yang nampak, seperti mempergunakan narkoba, merokok, laki-laki mengisbalkan pakaiannya dan mencukur jenggot, wanita ber-tabarruj dan keluar dengan bersolek serta memakai wangi-wangian, dan lain sebagainya.