1. Pengertian
Zakat
Zakat secara etimologi
berarti bersih, suci, dan berkembang; maksudnya harta yang dizakati akan
bersih, suci dan hartanya akan berkembang. Belum ada dalam sejarah, ada orang
jatuh miskin karena hartanya disucikan dengan zakat. Sedangkan menurut istilah,
zakat adalah shadaqoh wajib yang harus dikeluarkan dari harta kita setelah
terpenuhi syarat-syarat tertentu (sampai batasan nisab dalam setahun penuh).
Nisab adalah batas minimal harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Misalnya:
kita memiliki usaha, atau gaji yang kalau
diakumulasikan dalam setahun setara dengan 85 gram emas, maka ”wajib”-lah kita
mengeluarkan zakat yaitu hak orang lain yang menempel di harta kita sebesar
2.5%-nya.
Zakat
ada dua jenis, yaitu: Zakat fithrah/zakat badan dan Zakat maal/zakat harta.
Untuk zakat fithrah dibayarkan setiap selama bulan suci Ramadhan (sebelum ‘Idul
Fitri) sebesar 2.5 kg beras (makanan pokok) bagi setiap muslim
Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan
kepada setiap muslin sebagai santunan kepada orang-orang miskin, mencukupkan
mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari raya sebagai tanda
berakhirnya bulan Ramadhan sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori puasa.
Kewajiban membayar zakat fitrah bersamaan
dengan disyariatkan puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua Hijriah. Kewajiban
membayar zakat fitrah dibebankan kepada setiap muslim dan muslimah, baligh atau
belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa ia masih hidup pada malam hari
raya dan memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya untuk sehari.
Zakat fitrah ini dibayarkan maksimal sebelum shalat ‘Idul Fitri. Ketentuan zakat fitrah tersebut didasarkan pada hadist Rasulullah SAW :
Zakat fitrah ini dibayarkan maksimal sebelum shalat ‘Idul Fitri. Ketentuan zakat fitrah tersebut didasarkan pada hadist Rasulullah SAW :
فَرَضَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ تَمَرٍ،
أوْصَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ
وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأمَرَ بِهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ
الناَّسِ إلى الصَّلَاةِ
Artinya : “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas orang muslim baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wamita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat Fitrah sebelum berangkat (ke masjid) ‘Idul Fitri” (HR Bukhari dan Muslim)
2. Siapakah
Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang
wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah orang muslim yang merdeka yang sudah
memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya untuk
sehari semalam. Di samping itu, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk
orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti isterinya, anak-anaknya,
pembantunya, (dan budaknya), bila mereka itu muslim.
Dari
Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kita) agar
mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk orang merdeka dan
hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu tanggung kebutuhan pokoknya.”
(Shahih : Irwa-ul Ghalil no: 835, Daruquthni II:141 no: 12 dan Baihaqi IV:
161).
Dalam
hal wajibnya janin dalam bayi dikeluarkan zakat fitrahnya terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama, Imam asy-Syaukani menyatakan bahwa Ibnu Mundzir
pernah mengemukakan pernyataan, bahwa ada ijma' (kesepakatan) ulama yang
menegaskan tidak wajib zakat fitrah bagi anak yang masih dalam kandungan. Bahkan,
Said bin Musayyib dan Hasan Basri berpendapat bahwa zakat fitrah itu hanyalah
wajib bagi orang yang berpuasa saja, karena tujuan zakat fitrah adalah untuk
mensucikan orang yang berpuasa. Sedangkan si anak tidak membutuhkan diri untuk
disucikan, karena ia tidak melakukan dosa.
Alasannya
adalah hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasul SAW hanya mewajibkan
zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari ucapan dan perbuatan
kotor, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abu Dawud di atas.
Sementara
itu, Ibnu Hazm menyatakan, janin yang berada dalam kandungan ibunya tidak wajib
dizakati, apabila belum berusia empat bulan (120 hari). Namun, bila sudah
berumur empat bulan dalam kandungan, maka ia wajib di zakati.
Berbeda
dengan pendapat lainnya, Imam Ahmad bin Hanbal, menganjurkan umat Islam untuk
mengluarkan zakat fitrah bagi janin dalam kandungan. Namun, ia tidak
mewajibkannya. (Lihat Nail al-Authar jilid 4, hlmn 181)
3. Waktu
Mengeluarkan Zakat Fitrah
Pandangan
para ulama tentang waktu pembayaran zakat fitrah :
1-Hanafiyah;
Tidak ada batas awal dan batas akhir. Boleh dibayarkan sebelum hari raya (1
Syawal), bahkan sebelum masuk Ramadhan. Juga tetap harus membayar zakat fitrah
ini meski terlambat sampai lewat tanggal 1 Syawal.
2-Malikiyah;
Sejak 2 hari sebelum hari raya sampai (paling lambat) terbenamnya matahari
tanggal 1 Syawal. Namun, jika sampai lewat batas akhir belum mengeluarkan
zakatnya, ia tetap berkewajiban membayarnya. Dengan catatan, jika ia mampu
(karena telah memenuhi syarat wajib) tapi mengakhirkannya sampai lewat hari
raya, maka ia berdosa.
3-Syafi'iyah;
Sejak hari pertama Ramadhan sampai tenggelamnya matahari 1 Syawal. Namun
utamanya adalah sebelum salat 'id. Lebih dari itu, jika memang ia mampu dan
tidak ada 'udzur maka ia berdosa dan tetap harus membayar. Namun jika ada udzur
seperti kehilangan hartanya, maka tidak apa-apa, tapi ia tetap harus
membayarkannya.
4-Madzhab
Hanbali; Awal pembayaran zakat fitrah sama dengan madzhab maliki, yaitu dua
hari sebelum hari ied. Sedangkan waktu terakhirnya sama dengan pendapat
Syafi`i, yaitu hingga terbenamnya matahari 1 syawal.
Berdasarkan pendapat para ulama tersebut, maka
waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:
I.
Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua
hari sebelum ‘Ied
II.
Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum
shalat.
Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma:
Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma:
وَمَنْ أَدَّاهاَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكاَةٌ مَقْبُوْلَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهاَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقاَتِ
“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”
Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.
Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua
hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini
dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal).
Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan
diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum
‘Ied.
4.
Ukuran
zakat fitrah
Setiap
orang wajib mengeluarkan setengah sha' dari gandum, atau satu sha' dari kurma,
kismis, keju, beras, jagung, sagu, atau bahan makanan pokok lain yang semisal
dengan yang tadi. 1 sha’ yaitu 2176 gram atau 2,2 Kg beras atau makanan pokok.
Dalam prakteknya jumlah ini digenapkan menjadi 2,5 Kg, karena untuk
kehati-hatian. Hal ini dianggap baik oleh para ulama.
Dalil
yang menjadi dasar wajibnya mengeluarkan setengah sha' dari qamh
(gandum), riwayat dari Urwah bin Zubair radliyallah 'anhu, bahwasanya Asma'
binti Abi Bakar radliyallah 'anhuma mengeluarkan
zakat pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk
keluarganya, baik yang merdeka maupun budak, sebanyak dua mud hinthah (gandum)
atau satu sha' kurma dengan ukuran sha' dan mud yang biasa mereka gunakan pada
masa itu." (ath-Thahawi).
Sedangkan
dalil yang menunjukkan wajibnya mengeluarkan satu sha' dari bahan makanan
selain qamh
(gandum) adalah hadits Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata, "kami selalu
mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha' makanan atau satu sha' sya'ir atau
satu sha' kurma atau satu sha' keju atau satu sha' kismis." (Muttafaq
'Alaih)
Ada
khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah mengeluarkan harga dari zakat
fitrah tersebut (bukan berupa makanan pokok).
. Pertama,
pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth,
III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).
Dalil
mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.”
(QS
at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan
zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki
berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat
fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr
Tha’am, hal. 4)
Mereka
juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari
meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni
dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin
dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili,
Hukm
Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3)
Kedua,
pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan
makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah
pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah
al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni,
IV/295).
Dalil
mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa,”Rasulullah SAW telah mewajibkan
zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut (sya’ir)
atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang
dewasa, dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas
menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan
dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi’
Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr
Tha’am, hal. 9).
Menurut
kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat
fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasan kami : Pertama,
ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil
dari harta (mal). Namun telah ada penjelasan (bayan)
dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah
adalah bahan makanan, bukan uang.
Kedua, hadits
yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits
bernama Abu Ma’syar yang dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu’,
VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani
(Nailul
Authar, IV/218), Imam az-Zaila’i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil
fi adh-Dhu’afa, VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul
Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar
hukum.
Kesimpulannya,
tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, melainkan wajib dalam
bentuk bahan makanan pokok. Wallahu a’lam.
5.
Yang
Berhak Menerima Zakat Fitrah
Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq)
baik zakat fitrah atau zakat harta, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT :
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60)
Delapan
golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah :
1. Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
1. Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang
Miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5.
Memerdekakan Budak: mancakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh
orang-orang kafir.
6. Orang
yang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan
maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk
memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia
mampu membayarnya.
7. Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
7. Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
6. Cara Pembayaran Zakat Fitrah
Para Ulama
telah bersepakat bahwa dasar palaksanaan zakat adalah bahwa seorang Imam (Amil)
mengumpulkannya dari para muzakki dan membagikannya kepada para mustahiq.
Artinya, pengelolaan zakat itu merupakan salah satu tugas negara Islam, dengan
dalil-dalil berikut ini:
1. Al-Qur’an telah menetapkan dalam ayat zakat tentang bagian amil zakat. Ini mennunjukkan bahwa harus ada pegawai yang ditunjuk oleh negara guna menjalankan tugas ini dan diberikan gaji dari zakat.
1. Al-Qur’an telah menetapkan dalam ayat zakat tentang bagian amil zakat. Ini mennunjukkan bahwa harus ada pegawai yang ditunjuk oleh negara guna menjalankan tugas ini dan diberikan gaji dari zakat.
2. As-Sunnah Al-Qauliyah, “… diambil dari orang-orang kaya mereka
lalu dibagikan kepada fakir miskin mereka…” di sini ada yang mengambil dan yang
membagi, dan tidak dibiarkan begitu saja kepada para muzakki.
3. As-Sunnah Al-Fi’liyyah, Rasulullah saw. pernah mengutus Umar
untuk memungut zakat Ini menunjukkan bahwa sahabat-sahabat di masa Rasulullah
Saw memberikan zakat fitrahnya melalui Amil yaitu petugas zakat yang ditunjuk
Rasulullah Saw, dan tidak memberikannya secara langsung kepada yang berhak.
4. Logika, yaitu ketika zakat dibiarkan kepada perorangan
mengakibatkan terlantarnya hak-hak fakir miskin, yang bisa menyebabkan
keresahan dan ketidakadilan terhadap fakir msikin. Pada saat yang sama negara
berkewajiban menjaga kehormatan fakir miskin. Belum lagi sebagian distribusi
zakat itu disalurkan untuk kepentingan umum yang hanya bisa ditentukan oleh
negara.
Kewajiban
adanya ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang
mutlak menjadi syarat. Tidak benar bila tidak ada ijab kabul dalam zakat, lalu
zakat itu menjadi tidak syah. Yang benar bahwa penyerahan harta zakat itu perlu
ditegaskan untuk membebaskan pemberi zakat dari kewajiban berzakat. Di masa
lalu ketika syariat zakat masih lengkap dengan amil zakat yang berkeliling
memungut dari orang kaya, penyerahan itu disertai dengan ikrar yang salah satu
fungsinya semacam tanda terima. Bahkan si fulan sudah menyerahkan zakatnya,
sehingga petugas zakat yang lain tidak perlu lagi menagihnya.
Dengan tidak
adanya pemerintahan Islam, zakat di masa sekarang ini dijalankan dengan apa
adanya. Sangat tidak efektif dan sangat kurang manfaatnya. Sebab tidak ada
petugas resmi zakat yang punya mandat resmi dari negara untuk menagih zakat.
Para petugas
zakat cenderung hanya bisa membuat proposal dan mengemis-ngemis zakat dari
kantor ke kantor. Kalau ada yang sadar mau bayar zakat, mereka akan berterima
kasih. Tapi kalau tidak ada yang mau bayar zakat, mereka hanya bisa pulang
dengan tangan hampa.
180 derajat
berbeda dengan apa yang terjadi di masa nabi dan para shahabat. Petugas zakat
yang pulang dengan tangan hampa, bisa mengakibatkan terjadinya perang atas
suatu kaum yang menolak bayar zakat. Itulah yang terjadi di masa khalifah Abu
Bakar As-Shiddih ra. Beliau secara tegas memerangi orang yang menolak petugas
zakat. Tidak mau bayar zakat? Siap-siap diperangi oleh negara.
Semakin
modern-nya gaya hidup, semakin memudahkan. Salah satunya dengan dibukanya
account khusus untuk menerima zakat yang dilakukan oleh lembaga amil zakat.
Biasanya, rekening itu didesain secara khusus hanya untuk menerima harta zakat.
Dibedakan dengan rekening untuk infak lainnya seperti untuk anak yatim, atau
pembangunan masjid.
Maka orang yang
memanfaatkan transfer langsung lewat ATM atau bank, biasanya sudah tahu dengan
pasti, berapa besar kewajiban zakat yang wajib dikeluarkan. Dia juga sudah tahu
dengan tepat bahwa rekening itu memang untuk menyalurkan harta zakat. Walhasil,
tidak ada yang salah dengan sistem ini. Sebab pihak lembaga juga sejak awal
sudah mensosialisasikan dengan cermat bahwa nomor rekening tersebut memang
semata-mata untuk pengaluran harta zakat. Bukan untuk sedekah atau infaq
lainnya.
Panitia Zakat Fitrah
hendaknya mendoakan kepada orang yang membayar zakat, agar ibadahnya selama
Ramadhan diterima dan mendapat pahala. Doa yang sering dibaca oleh yang
menerima zakat, diantaranya:
آجَرَكَ اللهُ
فِيْمَا أعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا
Artinya : “Semoga Allah SWT memberikan pahala kepadamu atas apa saja yang telah Allah memberi berkah kepadamu atas semua yang masih ada padamu dan mudah-mudahan Allah menjadikan kesucian bagimu.”
Jika terjadi
perbedaan Hari Raya, maka panitia zakat Fitrah yang berhari raya terlebih
dahulu tidak boleh menerima zakat Fitrah setelah mereka mengerjakan shalat
‘Idul Fitri.